Indonesia memasuki usianya yang ke-67 tahun. Waktu yang sangat panjang bagi bangsa yang merdeka. Banyak energi anak negeri ini yang terkuras karena memikirkan kemerdekaan yang mereka nikmati, ternyata hanyalah baru kemerdekaan dari peperangan.
Sedangkan kemerdekaan untuk mendapatkan hak-hak hidup, mereka belum dapatkan seperti hak atas kesejahteraan ekonomi, dan keadilan hukum.
Hak atas kesejahteraan, sebagian besar rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari lantaran harga-harga kebutuhan pokok, sandang, pangan, termasuk biaya pendidikan yang kian mahal. Peluh rakyat yang menetes setiap hari dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup tersebut.
Atas anomali ekonomi itu, akhirnya memunculkan perilaku sosial yang brutal. Masyarakat cenderung menjadi pemarah, tidak sabar dan sering melanggar aturan. Hampir setiap hari di jalanan, kita menyaksikan betapa masyarakat saling serobot tanpa mengindahkan etika, dan norma-norma dalam berlalu lintas. Lainnya, kejahatan jalanan, kejahatan kerah putih alias korupsi para penyelenggara negara juga kian marak. Para penyelenggara negara itu pun terjerat kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aksi perusakan fasilitas milik negara juga sering terjadi. Sementara itu, penegakan hukum dirasakan sangat lemah, dan tidak adil. Contoh kecil, banyak pelanggaran lalu lintas yang terjadi di depan aparat kepolisian tetapi dibiarkan begitu saja. Sekalipun ada tindakan, diduga bukan untuk tujuan penegakan hukum melainkan guna kepentingan diri dan ini sudah bukan rahasia umum lagi. Anak-anak belum cukup umur untuk memiliki SIM pun dibiarkan menggunakan motor dan tanpa helm pula.
Penindakan hukum masih berpihak kepada yang kuat dan korparasi. Rakyat kecil cenderung menjadi korbannya. Kasus bentrokan masyarakat dengan petugas Brimob di Ogan Ilir, Sumsel, adalah potret buruk bahwa penegakan hukum berpihak kepada orang berduit. Rakyat harus meregang nyawa hanya karena mempertahankan hak atas tanah yang akan tergusur pengusaha. Kasus pembakaran kantor bupati di NTB, juga cerminan perilaku masyarakat yang brutal, lemahnya penegak hukum, dan bukti ketidakadilan.
Itu semua bermuara pada masalah ekonomi, sehingga mengubah perilaku dan mental masyarakat kita yang sudah 67 merdeka ini. Maka, tak heran jika Guru Besar FE UI, Sri Edi Swasono beranggapan bahwa kemiskinan adalah malapetaka sosial-kultural. "Ini memang mengenaskan, mengapa di tanah air yang kaya raya tetapi rakyatnya miskin," kata dia.
Kemiskinan selain disebabkan masalah pengelolaan negara yang salah juga perilaku koruptif para penyelenggara negara itu sendiri. Seorang tokoh nasional mengungkapkan, betapa korupsi di negeri ini sudah sangat mencengkeram dan sulit dienyahkan. Sekarang tidak ada pemimpin nasional yang kuat dengan konsep sesuai konstitusi. "Bangsa ini sudah diatur asing dan tidak punya apa-apa lagi," tuturnya.
Contoh, kekayaan alam Indonesia di Papua dikuasai asing. Mungkin, saatnya pemerintah berpikir ulang tentang semua hasil bumi di kepulaun Indonesia. Ini agar kekayaan bisa menyejahterakan rakyat yang disebut-sebut sekitar 40 juta orang hidup dalam kemiskinan. Suatu ironi kehidupan di tengah bangsa yang mempunyai kekayaan alam berlimpah tiada duanya di dunia, tetapi tidak dikuasai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Merdeka!